"Baik pihak Jepang dan Indonesia masih menyelesaikan itu," ujar Chatib di Jakarta.
Tim perundingan dari pihak pemerintah RI, yang diketuai Menteri Perindustrian MS Hidayat, diharapkan dapat mendorong kesepakatan dengan Jepang, dalam hal ini Konsorsium Nippon Asahan Alumunium (NAA), mengenai transaksi pengambilalihan perusahaan tambang yang berbasis di Sumatera Utara itu. "Intinya, tim perunding harus upayakan yang terbaik," kata Chatib.
Pemerintah, menurut Chatib, sebenarnya telah siap melakukan pembayaran atas biaya transaksi pengambilalihan saham ini, asalkan nilainya sesuai dan menguntungkan bagi Indonesia.
"Kalau Pak Hidayat dan tim perundingnya selesai, ya sudah, kami bayarkan. Harus yang terbaik, angkanya sesuai dengan kita," kata Chatib.
Pemerintah mengharapkan perundingan ini dapat segera mencapai kesepakatan agar proses penyelesaiannya tidak perlu sampai dibawa ke ranah arbitrase internasional. "Tapi kalau arbitrase, ya kami siap untuk itu," kata Chatib.
Seperti yang diketahui, berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kepemilikan Indonesia atas saham Inalum adalah sebesar 41,13 persen, sedangkan Jepang menguasai 58,87 persen saham yang dikelola Konsorsium Nippon Asahan Alumunium (NAA). Konsorsium ini beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC), yang mewakili pemerintah Jepang dan mendapat porsi 50 persen saham. Sisanya dimiliki 12 perusahaan swasta Jepang. Menurut perjanjian, kontrak kerja sama pengelolaan Inalum berakhir pada 31 Oktober 2013.
Pada Selasa 30 Oktober 2013, Komisi XI telah menyetujui penggunaan anggaran sebesar Rp7 triliun untuk membayar 58,87 persen saham Inalum yang dimiliki pihak Jepang. Anggaran tersebut diperoleh dari APBN-Perubahan Tahun 2012 sebesar Rp2 triliun dan APBN-Perubahan Tahun 2013 sebesar Rp5 triliun.
0 Response to "Menteri Keuangan M Chatib Basri"
Posting Komentar